Makalah Teori Ilmiah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sungguh luar biasa jika kita merenungkan sejenak tentang penciptaan diri kita. Allah menciptakan semua manusia dengan sebaik-baik penciptaaan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt di dalam Al-Quran Surat At-Tiin ayat ke 4. Kita semua telah mengetahui bahwa Allah telah memberi akal kepada manusia agar untuk selalu berfikir atas apa yang Ia ciptakan di dunia ini. Manusia adalah makhluk berfikir. Dikatan demikian karena diantara sekian banyaknya makhluk yang ada di dunia ini, hanya manusia yang diberikan akal oleh Allah sebagai sarana untuk selalu berpikir.
Coba kita perhatikan kehidupan kita (manusia) sendiri, perjalanan hidup manusia dari bentuk yang paling sederhana adalah bahwa manusia itu selalu berinteraksi dengan fenomena-fenomena alam sekitarnya yang sangat mempengaruhi hidup manusia. Hal ini telah membuat dan memaksa manusia untuk selalu berpikir serta melakukan penelitian dan eksperimen-eksperimen secara terus menerus dalam rangka mempelajari dan memahami kenyataan alam itu sendiri. Penelitian dan eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh manusia itu telah melahirkan berbagai macam bentuk kesimpulan yang kemudian dalam tahap perkembangan selanjutnya akan melahirkan sebuah teori.
Manusia memiliki akal untuk memikirkan alam ini yang pada akhirnya akan melahirkan teori. Dari teori inilah manusia mengembangkannya menjadi basis dari sistem teknologi. Kehadiran teknologi telah merubah pola hidup manusia dan memberikan pengaruh dan terhadap alam. Perubahan alam akan mengakibatkan dan menimbulkan pengaruh dari teknologi itu kemudian melahirkan sebuah teori baru lagi yang kemungkinannya dapat menguatkan ataupun membatalkan, membantah teori sebelumnya.
Proses perkembangan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) merupakan hasil dari penemuan dan penelitian yang dilakukan manusia sebelumnya. Sebenarnya perkembangan tersebut selalu diawali dengan rasa keingintahuan yang kuat dan tekad manusia itu sendiri yang sangat besar bahkan Paul Leady mengatakan bahwa ”Man is curious animals”. Keingintahuan tersebut itulah yang selalu mendorong manusia untuk berupaya menjawab kenyataan-kenyataan alamiah yang ada di dunia ini lewat berbagai cara, dan hal ini mendorong perkembangan ilmu dan pengetahuan.
Selain itu, ciri khas manusia yang selalu ingin tau tersebut tidaklah pernah berhenti dan juga tidak pernah puas. Setelah puas mengetahui suatu pengetahuan manusia akan terus mencari tau pengetahuan-pengetahuan yang baru dan tidak akan berhenti. Hal ini juga yang mendorong manusia mengembangkan berbagai cara/metode untuk menjawab rasa keingintahuan yang mereka alami. Di dalam tulisan ini akan di paparkan berbagai aspek yang di kembangkan manusia mengenai pengertian teori ilmiah serta sifat dasar teori ilmiah itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka melahirkan serta menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan teori ilmiah ?
2. Bagaiman sifat dari teori ilmiah ?
3. Serta bagaimana kegunaan dari teori itu sendiri ?
C. Tujuan Penulisan
Adapaun tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita mengerti serta memahami apa yang dimaksud dengan teori ilmiah dan sifat dasar teori ilmiah serta kita bisa menemukan teori-teori baru dan memabatlakan teori-teori yang selama ini salah ataupun tidak masuk akal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Ilmiah
Teori Ilmiah terdiri dari dua kata yang masing-masing memiliki arti atau pengertian yang berbeda. Kata “teori” secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theorea, yang berarti melihat, theoros yang berarti pengamatan. Sedangkan secara terminologi teori adalah pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa, kejadian yang sebenarnya, serta bisa didefinisikan atau bisa juga diartikan sebagai pendapat, cara atau aturan untuk melakukan sesuatu.
“A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaning and predicting the phenomena.” Di dalam definisi ini terkandung tiga konsep penting. Pertama, suatu teori adalah satu set proposisi yang terdiri atas konsep-konsep yang berhubungan. Kedua, teori memperlihatkan hubungan antarvariabel atau antar konsep yang menyajikan suatu pandangan yang sistematik tentang fenomena. Ketiga, teori haruslah menjelaskan variabelnya dan bagaimana variabel itu berhubungan. (Kerlinger 1973:9)
Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. Labovitz dan Hagedorn mendefinisikan TEORI sebagai ide pemikiran “pemikiran teoritis” yang mereka definisikan sebagai “menentukan” bagaimana dan mengapa variable-variabel dan pernyataan hubungan dapat saling berhubungan. Oleh (John W Creswell, Research Design: Qualitative & Quantitative Approach, (London: Sage, 1993) hal 120)
Dalam ilmu pengetahuan, teori dalam ilmu pengetahuan berarti model atau kerangka pikiran yang menjelaskan fenomena tertentu. Teori dirumuskan, dikembangkan dan dievaluasi menurut meode ilmiah. Teori juga merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti kebenarannya. Manusia membangun teori untuk menjelaskan, meramalkan, dan menguasai fenomena tertentu (misalnya, benda-benda mati, kejadian-kejadian di alam atau tingkah laku hewan). Sebuah teori membentuk generalisasi atas banyak pengamatan dan terdiri atas kumpulan ide yang koheran dan saling berkaitan.
Di samping itu teori dianggap juga sebagai seperangkat hubungan antara proposisi yang bersifat logis dan dapat diuji secara emperis. Teori tersebut berupa menyimpulkan generalisasi fakta-fakta, meramalkan gejala-gejala baru dan mengisi kekosongan pengetahuan tentang gejala-gejala yang telah ada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori itu terdiri dari beberapa hal yaitu antara lain :
1. Ada gejala yang diamati
2. Pada gejala tersebut terjalin hubungan keterkaitan, logis dan sistematis
3. Ada generalisasi, analisis deduktif
4. Bersesuaian dengan realitas, dapat dibuktikan.
Sedangkan kata ilmiah menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) “il.mi.ah a bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan”. Dan kata ilmiah juga terambil dari kata “ilmu” sehingga demikian kata ilmiah dimaknai sesuatu yang sesuai dengan metode dan prinsip keilmuan. Dan diantara prinsip ilmu itu antara lain: logis, sistematis dan dapat dibuktikan. Kesemua prinsip ini telah tercakup pada empat poin definisi di atas.
Dengan demikian, teori merupakan salah satu konsep dasar penelitian sosial. Teori adalah seperangkat konsep/konstruk, defenisi dan proposisi yang berusaha menjelaskan hubungan sistimatis suatu fenomena, dengan cara memerinci hubungan sebab-akibat yang terjadi
Sebuah teori ilmiah dalam sains menyimpulkan sekumpulan hipotesis yang telah didukung oleh uji coba yang berulang. Jika bukti sudah terkumpul untuk menyokong sebuah hipotesis, maka hipotesis akan berubah menjadi teori di tahapan berikutnya dalam proses metode ilmiah. Yang berarti teori diterima sebagai penjelasan sah suatu fenomena.
Perbandingan dikonteks tidak ilmiah (non-sains), kata “teori” mengimplikasi sesuatu yang belum terbukti atau spekulatif. Teori ilmiah dalam sains adalah penjelasan atau model yang berbasiskan observasi, eksperimentasi dan nalar/pertimbangan, terutama ketika sesuatu sudah dites dan dikonfirmasi sebagai kaidah umum yang membantu menjelaskan dan memprediksi gejala alam.
Teori adalah fondasi untuk mendorong lebih jauh ilmu pengetahuan/sains dan untuk mengolah informasi untuk kegunaan sehari-hari. Kesehariannya para ilmuwanpun menggunakan teori-teori untuk menciptakan teknologi baru atau menemukan pengobatan baru untuk penyakit.
Setiap teori bisa dikatakan sebagai dugaan sementara, karena hal tersebut mesti memerlukan pembuktian. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sitirahayu Haditono (1999), bahwa suatu teori akan memperoleh arti penting mana kala ia lebih banyak dapat melukiskan, menerangkan dan meramalkan gejala-gejala yang ada
B. Sifat Dasar Teori Ilmiah
Seorang peneliti harus menguasai teori-teori ilmiah sebagai dasar bagi argumentasi dalam menyusun kerangka konseptual yang membuahkan hipotesisi. Kerangka konseptual ini merupakan penjelasan sementara terhadap gejala-gejala yang menjadi obyek permasalahan.
Teori ilmiah manapun harus didasarkan pengamatan yang teliti dan rasional akan fakta. Dalam metode ilmiah, ada perbedaan yang mendasar antara fakta (yang dapat diobserverasi dan/atau diukur) dan teori yang merupakan penjelasan oleh para ilmuwan dan interpretasi dari fakta. Para ilmuwan bisa saja memiliki penafsiran yang berbeda dari hasil percobaan dan pengamatan, tetapi kenyataannya (yang merupakan tolak ukur dari metode ilmiah) tidaklah berubah.
Sebuah teori harus bisa merangkum pernyataan-pernyataan yang pengamatan sebab-akibat. Sebuah teori yang baik (seperti teori Netwon akan Gravitasi) memiliki kesatuan, yang isinya terdiri dari sekumpulan langkah pemecahan masalah. Langkah-langkah yang dapat diaplikasikan dalam jangkauan lingkungan ilmiah yang luas. Ciri lain dari teori ilmiah yang baik adalah ia terbentuk dari beberapa kumpulan hipotesis yang dapat di uji secara terpisah.
Sebuah teori ilmiah bukanlah hasil akhir dari suatu kegiatan metode ilmiah; teori-teori yang dihasilkan bisa saja suatu saat dibuktikan atau ditolak, seperti hipotesis. Teori-teori juga bisa diimprovisasi atau diubah. Ketika lebih banyak informasi-informasi yang dikumpulkan mengenai sebuah teori, teori tersebut semakin lama akan semakin meningkat tingkat akurasinya untuk memprediksi suatu fenomena.
Teori ilmiah merupakan keterangan yang bersifat sementara mengenai fenomena. Dari keterangan ini, ilmuwan kelak dapat membuat acuan, prediksi dan melakukan pengontrolan.
Secara terinci teori ilmiah ditandai oleh hal-hal berikut (Jalaludin, 2000: 06 ) :
a. Teori terdiri dari proporsisi-proporsisi. Proporsisi adalah hubungan yang terbukti di antara berbagai vatiabel. Proporsisi ini biasanya dinyatakan dalam bentuk ”jika, maka”.
b. Konsep-konsep dalam proporsisi telah dibatasi pengertiannya secara jelas. Pembatasan konsep ini menghubungkan abstraksi dengan dunia empiris.
c. Teori harus mungkin diuji, diterima atau ditolak kebenarannya. Pembatasan pengertian konsep yang dipergunakan menyiratkan kemungkinan pengujian teori.
d. Teori harus dapat melakukan prediksi. Teori agresi dapat meramalkan bahwa bila guru selalu menghambat tingkah laku anak, frekuensi agresi akan bertambah.
e. Teori harus dapat melahirkan proposisi-proporsisi tambahan yang semula tidak diduga.
Di dalam buku Orientasi ke arah pemahaman (Mukhtar Latif, 2014) Popper berpendapat, bahwa teori ilmiah mutakhir secara prinsif dapat disalahkan dan bertahan di hadapan observasi dan pengalaman yang berpotensi salah. Sebaliknya, teori yang bertentangan telah bertolak dengan bukti.maka, dalam standar sains Popper, suatu teori dapat masuk ke dalam wacana ilmiah (yang dipertimbangkan secara serius) jika dapat dibuktikan, akan dibuang jika telah bertolak, akan diterima sementara jika dapat lulus secara uiian.
Dari uraian Popper di atas dapat disimpulkan bahwa teori ilmiah harus memiliki landasan, antara lain :
1. Dapat disalahkan dan bertahan di hadapan observasi dan pengalaman yang berpotensi salah.
2. Dapat dipertimbangkan jika dapat dibuktikan
3. Akan diterima sementara jika dapat lulus secara ujian
4. Dapat diuji atau diverifikasi
Di dalam buku Filsata Ilmu dan Metode Penelitian (Sigit Suyantoro ; 2007) dijelaskan bahwa, teori mempunyai peranan dalam pengembangan ilmu, yaitu sebagai orientasi, sebagai konseptual dan klasifikasi, secara generalisasi, sebagai peramal fakta dan sebagai points to gaps in our knowledge.
1. Teori sebagai orientasi: Memberikan suatu orientasi kepada para ilmuwan sehingga dengan teori tersebut dapat mempersulit cakupan yang akan ditelaah sedemikian rupa sehingga dapat menetukan fakta-fakta mana yang diperlukan.
2. Teori sebagai konseptual dan klasifikasi : Dapat memberikan petunjuk tentang kejelasan hubungan antara konsep-konsep dan fenomena atas dasar klasifikasi tertentu.
3. Teori sebagai generalisasi (summarizing) : Memberikan rangkuman terhadap generalisasi empirik dan antar hubungan dari berbagai proposisi (teorema: kesimpulan umum yang didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu, baik yang akan diuji maupun yang telah diterima).
4. Teori sebagai peramal fakta : yang dimaksud dengan meramal ialah berpikir deduktif dengan konsekuensi-konsekuensi logis (baik menurut waktu maupun tempat). Jadi teori membuat prediksi-prediksi tentang adanya fakta denga cara membuat ekstrapolasi dari yang sudah diketahui kepada yang belum diketahui.
5. Teori sebagai to gaps in our knowledge : Teori menunjukan adanya senjangsenjang dalam pengetahuan kita; “sepandai-pandai tupai melompat sekali akan gagal juga” : sepandai-pandai ahli teori tentu tidak dapat secara lengkap menyusun teori yang telah menjadi pengetahuan itu, yang dengan demikian memberi kesempatan kepada kita untuk menutup kesenjangan tadi dengan melengkapi, menjelaskan dan mempertajamnya.
Dari uraian tersebut, bahwasannya teori mempunyai peranan penting baik itu sebagai orientasi, sebagai konseptual, ataupun sebagai peramal fakta.
C. Fungsi Teori Ilmiah
Setelah kita melihat dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat kita artikan bahwa teori ilmiah sangatlah penting dan memiliki fungsi yang saklar dalam penelitian sesuatu.
Sifat dan tujuan teori menurut Abraham Kaplan (1964) adalah bukan semata untuk menemukan fakta yang tersembunyi, tetapi juga suatu cara untuk melihat fakta, mengorganisasikan serta merepresentasikan fakta tersebut. Teori yang baik adalah teori yang konseptualisasi dan penjelasannya didukung oleh fakta serta dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Apabila konsep dan penjelasan teori tidak sesuai dengan realitas, maka keberlakuannya diragukan dan teori demikian tergolong teori semu.
Menurut Littlejohn (1996) fungsi teori ada 9 (sembilan) yaitu:
1. Mengorganisasikan dan menyimpulkan
Kita tidak melihat dunia dalam kepingan-kepingan data. Sehingga dalam mengamati realitas kita tidak boleh melakukannya setengah-setengah. Kita perlu mengorganisasikan dan mensintesiskan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan. Pola-pola dan hubungan-hubungan harus dapat dicari dan ditemukan. Kemudian diorganisasikan dan disimpulkan. Hasilnya berupa teori dapat dipakai sebagai rujukan atau dasar bagi upaya-upaya studi berikutnya.
2. Memfokuskan
Teori pada dasarnya hanya menjelaskan tentang suatu hal bukan banyak hal. Untuk itu aspek-aspek dari suatu objek harus jelas fokusnya.
3. Menjelaskan
Teori harus mampu membuat suatu penjelasan tentang hal yang diamatinya. Penjelasan ini berguna untuk memahami pola-pola, hubungan-hubungan dan juga menginterpretasikan fenomena-fenomena tertentu. Atau dengan kata lain teori-teori menyediakan tonggak-tonggak penunjuk jalan untuk menafsirkan, menerangkan dan memahami kompleksitas dari hubungan-hubungan manusia.
4. Mengamati
Teori tidak hanya menjelaskan tentang apa yang sebaiknya diamati tetapi juga memberikan petunjuk bagaimana cara mengamatinya. Terutama bagi teori-teori yang memberikan definisi-definisi operasional, teoretikus bersangkutan memberikan kemungkinan indikasi yang paling tepat mengenai apa yang diartikan oleh suatu konsep tertentu. Jadi dengan mengikuti petunjuk-petunjuk kita dibimbing untuk mengamati seluk beluk yang diuraikan oleh teori itu.
5. Membuat prediksi
Fungsi prediksi ini dengan berdasarkan data dan hasil pengamatan maka harus dapat dibuat suatu perkiraan tentang keadaan yang bakal terjadi apabila hal-hal yang digambarkan oleh teori juga tercermin dalam kehidupan di masa sekarang.
6. Heuristik (membantu proses penemuan)
Sebuah aksioma yang terkenal adalah bahwa suatu teori yang baik melahirkan penelitian. Teori yang diciptakan harus dapat merangsang timbulnya upaya-upaya penelitian selanjutnya.
7. Mengkomunikasikan pengetahuan
Teori harus dipublikasikan, didiskusikan, dan terbuka terhadap kritikan-kritikan. Sehingga penyempurnaan teori akan dapat dilakukan.
8. Kontrol/mengawasi
Fungsi ini timbul dari persoalan-persoalan nilai, di dalam mana teoretikus berusaha untuk menilai keefektifan dan kepatutan perilaku tertentu. Teori dapat berfungsi sebagai sarana pengendali atau pengontrol tingkah laku kehidupan manusia.
9. Generatif
Fungsi ini terutama sekali menonjol dikalangan pendukung aliran interpretif dan teori kritis. Menurut mereka, teori juga berfungsi sebagai sarana perubahan sosial dan kultural, serta sarana untuk menciptakan pola dan cara kehidupan yang baru.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ilmiah mempunya beberapa fungsi, diantarany adalah mengorganisasikan, menyimpulkan, memfokuskan, menjelaskan, mengamati, membuat prediksi, membantu proses penemuan, mengkomunikasikan pengetahuan serta mengawasi atau mengontrol pengetahuan itu sendiri.
D. Teori Kebenaran sebagai Alat Uji Teori Ilmiah
Menurut DR. Ahkyar Yusuf di dalam bukunya (Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer ) dijelaskan bahwa untuk menjadi teori ilmiah, suatu ilmu harus diuji terlebih dahulu. Alat penguji ilmu tersebut bernama teori kebenaran.
Dalam epistemologi dan filsafat ilmu pengetahuan dikenal sejumlah teori kebenaran, yaitu :
1. Teori Kebenaran Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi menyatakan bahwa satu teori/proposisi benar bila proposisi atau teori itu sesuai dengan fakta (kenyataan). Kebenaran adalah kesetiaaan pada realitas objektif. Aristoteles menyebut ini dengan teori penggambaran/cermin yang ia rumuskan sebagai “veritas est adaequatio intellectus et rhei”.
Teori kebenaran ini didukung dan diterima oleh pendukung epistemologi empiris (positivisme ilmiah), seperti pada ilmu-ilmu alam atau ilmu sosial, budaya yang menuntut penerapan metode ilmu alam pada ilmu sosial budaya . kaum positivisme menganggap bahwa teori menggambarkan realitas apa adanya (copy theory, mirror theory). Karena itu, verifikasi dijadikan sebagai kriteria untuk keilmiahan. Masalah yang muncul pada teori ini adalah bagaimana kita tahu bahwa ide, gagasan, dan teori kita sama dengan kenyataan (realitas) ? Apakah mungkin fakta (realitas) itu bicara tanpa bantuan teori ? Apakah mungkin objektivitas tanpa ada subjektivitas ?.
Tokoh post positivisme dan post modernisme menjelang akhir abad ke- 20 banyak mengkritik pandangan postivisme dan teori korenpondensi ini, dengan mengemukakan argumen-argumen yang sangat menarik.
2. Teori Kebenaran Konsistensi atau Koherensi
Dalam teori konsistensi atau koherensi, kebenaran adalah adanya saling hubungan antar putusan-putusan atau kesesuaian/ketaat-asasan dengan kesepakatan atau pengetahuan yang telah dimiliki. Teori kebenaran ini umumnya terdapat dalam matematika dan logika atau kelompok epistemologi idealis (epistemological idealism). Bagi penganut teori kebenaran ini, konsistensi suatu pernyataan atau teori dengan sistem pernyataan sebelumnya sudah diandaikan kebenarannya dan menjadi tolak ukur kebenaran.
Logika dan matematika adalah contohnya dan memilik keunggulan jika dibandingkan dengan bahasa, karena dikontruksi berdasarkan lambang. Konvensi-konvensi dan aturan yang tidak memungkinkan ambiguitas arti. Ciri matematika : brevity (ringkas), consistency(taat asas), precise abstraction (kesamaan abstraksi), merupakan keunggulan matematika. Karena itu konsep “meaning” (makna; “truth”/kebenaran), dan “cretainty” (kepastian) lebih mudah diterpkan pada bidang ini daripada bidang pada ilmu lain. Walaupun demikian, dalam matematika ketidakpastian juga dikenal dengan mengajukan tingkat peluang (probability). Kaum rasionalis menjadikan prinsip matematika dan logika deduktif ini turun ke dunia nyata (realitas), karena asumsi adanya kesejajaran antara rasio dan realitas (sebagaimana dikemukakan Pythagoras dan Hegel). Jadi, realitas dilihat sebagai kesatuan sistem, dan bagian-bagiannya akan diketahui bila prinsip yang mendasari keseluruhan itu sudah diketahui. Hegel merumuskan prinsip ini melalui pernyataan bahwa “kebenaran itu adalah keseluruhan” (das Whare ist Ganze).
Kelemahan teori ini adalah bahwa orang dapat saja membangun satu teori/sistem yang koheren (konsisten), akan tetapi sebenarnya salah karena tidak didukung oleh fakta. Jadi, teori ini tidak membedakan antara teori yang “konsisten-salah” dengan teori yang salah “konsisten-benar”.
3. Teori Kebenaran Pragmatis
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat akhir abad ke- 19, yang menekankan pentingnya akal budi (rasio) sebagai sarana pemecahan masalah (problem solving)dalam kehidupan manusia baik masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. Tokoh pragmatisme awal adalah Charles Sander Pierce (1834-1914) yang dikenal juga sebagai tokoh semiotik, William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952) (Honderich, 1995).
Sebagai seorang pragmatis, William James menolak “teori cermin” (mirror theory) atau sebagai “gambar realitas” (picture theory) dan menggantinya dengan prinsip kegunaan atau kemanfaatan. Dengan kata lain, benar-tidaknya satu teori justru ditentukan oleh bermanfaat-tidaknya suatu teori dalam praktis kehidupan. Benar-tidaknya satu teori ditentukan oleh manfaat dan efektivitasnya untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-sehari. Rumusan William James tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah sebagai berikut, “something is true if it works”. Truth is a “thing done”, a function of practical value, made to happen (Hunnex, 1986: 35). Dengan demikian kaum pragmatis menolak intelektualisme dan absolutisme (kebenaran mutlak) karena semua pengalaman manusia bersifat parsial, sementara, dan situasional. Karena itu, yang ada adalah kebenaran-kebanran (sesuai dengan pengalaman khusus) dan pengalaman itu dapat berubah/diubah oleh pengalaman berikutnya.
Selanjutnya, Jhon Dewey berpendapat bahwa filsafat bertugas membeikan pengarahan dalam kehidupan kita. Sementara kehidupan dan pengalaman, juga pemahaman manusia itu, berjalan dan berkembang terus dari satu era ke era berikutnya. Jika ilmu pengetahuan dan filsafat sebagai problem solving, maka ilmu pengetahuan dan filsafat yang berkembang akan sejalan dengan perkembangan budayanya. Dengan demikian, pengalaman dan kesadaran dalam pragmatisme sangat bersifat ilmiah. Filsafat harus bertolak dari pengalaman dan mengolahnya secara aktif dan kritis. Mengingat metode ilmiah adalah cara atau alat penataan pengalaman, maka bagi Dewey, filsafat dan ilmu pengetahuan dianggap sebagai alat untuk bertindak dengan mempertimbangkan berbagai konsekuensinya bagi masa depan. Karena itu, William James dan John Dewey lebih senang menggunakan istilah instrumentalisme dari pada pragmatisme. Alasan yang sama pula diberikan kenapa kebenaran teori pragmatis ini disebut juga kebenaran instrumentalis (Dewey, 1929; 1939).
4. Teori kebenaran permformatif
Teori ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960), seorang filsuf Inggris yang mengemukakan teori tindak bahasa (speech-acts). Austin tidak begitu tertarik membicarakan bahasa sebagai pemaparan realitas (fakta atomik). Ia mengarahkan analisisinya pada pemakaian bahasa sehari-hari. Ia menbedakan dua macam penggunaan bahasa, yaitu proposisi atau tuturan konstatif dan proposisi atau turunan performatif dengan aturan/kriterianya sendiri. Selain melaporkan sesuatu (fakta) yang dapat diverifikasi (sebagaimana yang dilakukan kaum positivisme melalui bahasa ilmiah yang disebutnya sebagai tuturan konstatif), bahasa dapat pula bersifat performatif. Artinya, dalam suatu tuturan terkandung satu komitmen untuk melakukan apa yang dikatakan. Jadi, bahasa tidak hanya menyatakan sesuatu (locutionary act), akan tetapi juga melakukan apa yang dikatakan (illocutionary act), dan menghasilkan sesuatu (perlocutionary act). Disamping itu, bahasa juga dapat menciptakan komunikasi (interlocutary act).
Teori kebenaran performatif yang disebut juga “tindak bahasa” mengaitkan kebenaran satu tindakan yang dihubungkan dengan satu pernyataan. Apabila seorang menteri menyatakan, “Dengan ini, seminar resmi saya buka”, naka sang menteri tidak menyatakan suatu benda-objek indrawi akan tetapi suatu pernyataan yang berkaitan dengan tindakan. Di sini ada perbuatan yang dilakukan bersamaan dengan pengucapan kata-kata itu. Dengan pernyataan itu suatu penampilan atau perbuatan (performance) dilakukan. Karena tuturan itu menyatakan suatu perbuatan, maka disebut dengan tuturan performatif. Dengan demikian, kebenaran perfromatif maksudnya adalah bahwa satu pernyataan dikatakan benar bila apa yang dinyatakan (oleh seseorang) dilakukan sesuai dengan tindakan dan kewenangan yang ada padanya.
Tuturan performatif, menurut Austin, tidak dinyatakan benar atau salah, akan tetapi berhasil atau gagal, yakni berasarkan apakah perbuatan yang dinyatakan itu dilakukan atau tidak. Ia mengklasifikasikan tuturan performatif atas wajar atau tidak wajar (happy or unhappy). Untuk menentukan apakah satu tuturan performatif wajar atau tidak, Austin mengajukan enam (di sini disederhanakan menjadi empat) syarat tuturan performatif yang wajr, antara lain :
a. Tuturan itu dituturkan dalam situasi yang tepat sehingga pernyataan mempunyai efek bagi tindakan. Dekrit Gus Dur adalah contoh tuturan performatif yang tidak sesuai dengan situasi (sosila-politik-hukum) sehingga tuturan performatif ini gagal (maksudnya tidak menghasilkan tindakan yang sesuai dengan dekrit, maalah sebaliknya).
b. Harus diucapkan orang yang memiliki kompetensi/wewenang untuk itu.
c. Harus ada tanggapan danketerbukaan dari kedua belah pihak, sehingga tuturan benar-benar menjadi tindakan.
d. Ada kesesuaian anatara ucapan orang yang menyatakan tuturan dengan tindakannya sendiri. Tanpa ada kesesuaian antara keduanya maka muncul inkonsistensi atau kebohongan
5. Teori Kebenaran Paradigmatis dan Konsensus
Teori kebenaran paradigmatik dapat diturunkan dari konsep paradigma Thomas Samuel Kuhn. Menurut Kuhn, ilmu pengetahuan dikontruksi atas paradigma tertentu. Dalam dunia ilmiah ada sekelompok ilmuwan (komunitas ilmuwan) yang mendukung paradigma tertentu (misalnya dalam psikologi terdapat paradigma psikonalisa, paradigma behaviorisme, paradigma humanistik, dan lain-lain). Ada kriteria yang berbeda antara satu paradigma dengan paradigma lain, sehingga kebenaran tergantung pada paradigma yang digunakan (paradigmatic).
Kuhn mengemukakan teori konsensus atau paradigmatik berkaitan dengan konsep paradigma sebagai dasar atau model yang diterima oleh kelompok ilmuwan dalam mengembangkan dan mengujia teorinya. Teori ilmiah dengan demikian dianggap/dinyatakan benar kalau dapat disetujui oleh komunitas ilmuwan pendukung paradigma tertentu.
BAB III
PENUTUTP
SIMPULAN
Dari penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa teori ilmiah terdiri dari teori dan ilmiah. Teori yang berartikan pengamatan sedangkan ilmiah adalah ilmu.
Sedangkan teori ilmiah dapat kita ambil simpulan bahwa teori ilmiah adalah seperangkat pernyataan (dan definisi dari sistem klasifikasi) yang disusun secara sistematis. Seperti dikemukakan Rudner, teori adalah seperangkat pernyataan yang secara sistematis saling berkaitan yang sesuai dengan metode dan prinsip keilmuan.
Dan teori ilmiah juga memiliki sifat dasar antara lain : dapat dislahkan dan bertahan dihadpan observasi dan pengalaman yang berpotensi salah, dapat dipertimbangkan jika dapat dibuktikan serta akan diterima sementara jika dapat lulus secara ujian. Teori ilmiah juga harus didasarkan pengamatan yang telit dan rasional akan fakta dan teroi ini juga bisa disebut fondasi sementara.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaludin, 2013, Filsafat Ilmu Pengetahuan, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta
Latif, Mukhtar 2014, Filsafat Ilm, Kencana, Jakarta
Peursen, Van, 1980, Susunan Ilmu Pengetahuan, P.T GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA, Jakarta.
Soetriono, 2007, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, C.V ANDI OFFSET. Yogyakarta.
Yusuf Lubis, Akhyar, 2014, Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer, P.T Raja Grafindo persada, Jakarta
0 Response to "Makalah Teori Ilmiah"
Posting Komentar